Thomas Stamford Raffles
Thomas Stamford Raffles lahir di laut di papan kapal Ann pada 6 Juli 1781 di lepas pantai Jamaika. Pada 1795, pria muda menerima pekerjaan pertamanya di East India Company sebagai pegawai. Tapi dia belajar keras di waktu luang dan pada 1804, telah diposting ke Penang (kemudian Prince of Wales Island) dan dipromosikan ke Asisten Sekretaris Kepresidenan bahwa pulau Malaysia. Penguasaan-Nya atas bahasa Melayu membuatnya sangat diperlukan untuk Pemerintah Inggris, dan ia kemudian ditunjuk penerjemah Melayu kepada Pemerintah India. Pada 1811, ia kembali sebagai Gubernur Letnan Jawa, dan segera dipromosikan menjadi Gubernur Bengkulu (sekarang Sumatera). Pada 19 Januari 1819, Raffles mendirikan Singapura modern dan pertama diperdebatkan ide yang menyebabkan pembentukan Museum Raffles di pulau itu.
Stamford Raffles sangat terpesona oleh keragaman besar dari hewan aneh dan tanaman dari Hindia Timur selama masa jabatannya di sana. Dia segera dipekerjakan ahli zoologi dan botani untuk menemukan semua yang mereka dapat tentang hewan dan tumbuhan di kawasan dan akan membayar asistennya keluar dari kantong sendiri untuk mengumpulkan spesimen. Dia juga dihidupkan kembali dan menjadi presiden Masyarakat Batavia yang aktif terlibat dalam studi sejarah alam Jawa dan daerah sekitarnya.
Dalam memoar tentang dirinya, istrinya Lady Sophia Raffles, koleksi binatang juga menyebutkan, di antara yang indah spesimen tapir, badak dan kijang. Dia menyebutkan bahwa dikirim ke Inggris. Raffles juga menyimpan beberapa hewan sebagai hewan peliharaan. Sebuah beruang anak dia dibesarkan dengan anak-anaknya dilaporkan sering bergabung dengannya untuk makan malam, makan mangga dan minum sampanye
Sir Thomas Stamford Raffles meninggal sehari sebelum ulang tahunnya ke-45 di tahun 1826. Beberapa tahun sebelumnya, pada tahun 1821 dan 1822, ia memberikan kontribusi dua makalah dalam Transaksi dari Zoological Society, London, dengan deskripsi dari beberapa 34 spesies burung dan 13 spesies mamalia, terutama dari Sumatra.
Sebagai Stamford Raffles yang terkenal di kalangan sejarah alam, sejumlah hewan dan tanaman telah dinamai untuk menghormatinya. Mereka termasuk Megalaima rafflesi (Red-crowned Barbet), Dinopium rafflesii (Olive-didukung Pelatuk) dan Chaetodon rafflesi (Butterflyfish berkisi-kisi). Mungkin organisme yang paling khas bernama setelah dia akan Rafflesia, genus tanaman parasit pada pohon-pohon palem yang ditemukan pada sebuah ekspedisi ke hutan di Sumatera. Ini adalah endemik ke Asia Tenggara dan menghasilkan terbesar dan mungkin di dunia yang paling spektakuler (abeit jahat berbau) bunga.
Thomas Stamford Raffles adalah seorang yang kurang mempunyai karakter
hebat, tapi cukup bijaksana untuk lebih memelih reputasi dalam sejarah
daripada penghasilan material sesaat (Vlekke, 2008). Bernama lengkap
Thomas Stamford Bringley Raffles ini lahir 6 Juli 1781
berkewarganegaraan Inggris. Ia adalah seorang Gubernur Jenderal
Hindia-Belanda yang terbesar. Ia juga dikatakan pendiri kota dan Negara
kota Singapura. Ayahnya adalah seorang kapten bernama Benjamin Raffles
dan Ibunya adalah Anne Lyde Linderman, namun akibat terhimpit krisis
ekonomi dan terjerat kasus dalam perdagangan budak di kepulauan Karibia
mengakibatkan ayahnya meninggal saat Raffles berusia 15 tahun. Saat itu
juga ia mulai bekerja sebagai pegawai di London untuk perusahan Hindia
Timur Britania yang banyak berperan dalam penaklukan Inggris di luar
Negeri (id.wikipedia.org) dan diangkat ke posisi agen perusahaan di
Pulau Penang pada 1805. Di sini dia memulai studinya atas bahasa, adat
istiadat, dan sejarah Melayu. Bermula menjadi palayan humaniter utama
kemudian menciptakan lewat tulisannya, suatu legenda histori mengenai
administrasinya di Jawa dan akhirnya dengan suatu kebijakan ekspansi
yang berani sehingga membuat dia mencapai keberhasilan terbesarnya yaitu
pendirian Singapura.
Dia
menulis begitu baik dalam bentuk yang sangat menarik, sehingga selama
seabad setelah kematiannya orang menilai Raffles lebih berdasarkan
kata-katanya dari pada perbuatannya. Dari sinilah ia dinilai lebih
unggul dari pada para pendahulu-pendahulunya dalam administrasi
kolonial. Dari gabungan ambisi membara dan kecerdasan brilian tersebut,
membuat Raffles orang yang tepat untuk menjalankan rencana Lord Minto
untuk Indonesia. Kala waktu itu untuk menyerang dan menghancurkan
kekuatan Belanda di Indonesia (Vlekke, 2008).
Keberhasilan Inggris dalam
ekspansinya ini membawa nama Raffles menjadi semakin dikenal dan yang
tidak kalah pentingnya adalah melejitnya karir Raffles yang semakin
tinggi di usianya yang masih muda. Itu disebabkan karena pemerintah
Inggris mempercayakan semua kendali di nusantara kepadanya. Sehingga di
tunjuklah Raffles sebagai Letnan Gubernur oleh Lord Minto sebelum
kembali ke Kalkuta (Vlekke, 2008). Dia menjadi Jenderal Gubernur di Jawa
pada tahun 1811-1816. Selama di Jawa dalam menjalankan tugasnya,
nampaknya Raffles juga memiliki keterkaitan erat dengan orang Jawa,
bahkan ia lebih suka dengan orang Jawa dari pada dengan orang Belanda.
Sebab orang Jawa tidak memiliki sifat amuk (chaos). Selain itu
Raffles juga menyimpan besar perhatiannya pada budaya dan sastra Jawa,
karena ketertarikanya tersebut ia mengembangkan Museum Ethnografi
Batavia, yang sampai saat ini masih berdiri megah. Sebelumnya Belanda
telah mendirikan lembaga kebudayaan yang bernama Koninklijk Bataviaasch
Genootschap. Lembaga ini yang memelopori pendirian Perpustakaan Nasional
Republik Indonesia (1778) dan Museum Gajah (1862) yang kesemuanya
berada di Jakarta. Pada 1814, Thomas Stamford Raffles mendengar berita
adanya penemuan benda purbakala di sekitar Magelang, Jawa Tengah.
Raffles kemudian mengutus H.C. Cornelius untuk menyelidiki lokasi
penemuan berupa bukit yang dipenuhi semak belukar. Ia memerintahkan agar
“bukit ilalang” itu dibersihkan, sehingga tampaklah sebuah candi
raksasa yang dipenuhi patung Buddha Mahayana. orang. Raffles juga
bercerita tentang keberadaan Candi Penataran yang berlokasi di sebelah
utara Blitar (Jawa Timur). Raffles menemukan candi ini pada 1815 bersama
seorang naturalis dan ahli kedokteran berkebangsaan Amerika, ialah
Thomas Walker Horsfield. Raffles kembali ke London (1815) karena
mengidap penyakit tropis yang cukup parah, serta kesedihannya yang
sangat dalam atas meninggalnya istrinya pada 26 November 1814 karena
penyakit malaria (Raffles, 2008) dan dimakamkan di Batavia tepatnya yang
sekarang menjadi Museum Prasasti. Di kebun raya Bogor juga dibangun
monument peringatan untuk mengenang kematian sang isteri
(id.wikipedia.org).
Pada tahun 1818, Thomas Stamford
Raffles kembali ke timur dan di promosikan menjadi gubernur Bengkulu.
Disana banyak yang telah dilakukan yaitu mengagas proyek benama
Singapore, mendirikan benteng, dan Ia juga dikenal sebagai pecinta
lingkungan yang penuh gairah di bidang boilogi. Banyak sederetan nama
binatang dan tumbuhan telah dinamai dengan menggunakan namanya (Raffles,
2008). Salah satu tumbuhan yang paling terkenal adalah benama Rafflesia Arnoldii,
sejenis tumbuhan parasit di pohon Palem, merupakan hasil penemuan
Raffles di sekitar Bengkulu (Sumatra). Tanaman ini merupakan endemic di
Asia Tenggara dan memiliki kelopak bunga terbesar serta paling
spektakuler di dunia. Sekembalinya ke London Thomas Stamford Raffles
mendirikan London Zoo dan Zoological Society of London yang sampai saat
ini masih terkenal. Ia pun menjadi presiden pertama dalam lembaga ilmiah
ini. Dari sinilah Raffles menghabiskan masa hidupnya yaitu di Kota dan
Negara asalnya. Seorang anak yang tengah menjelma menjadi seorang figure
dan menjadi seorang tokoh cerdas, bijaksana serta peduli terhadap
sesama telah menyatu semua dalam diri raffles. Menurut catatan Sophia
Malkasian, mahasiswa pascasarjana pada Southeast Asia Studies Program,
Ohio University, Amerika Serikat mengatakan Raffles dianggap sebagai
salah seorang pelopor kajian Jawa, serta bukunya menjadi sumber gagasan
Barat mengenai daerah tersebut, dan sebagai titik awal pengkajian
wilayah Timur.
Perjuangan
telah dilakukan demi keluarga dan negaranya mulai dari masa remaja
hingga menutup mata. Banyak sumber yang mengatakan bahwa Thomas Stamford
Raffles meninggal dunia sehari sebelum ulang tahunnya yang ke-45 (5
July 1826), atau hanya dua tahun sekembalinya dari Hindia-Timur, karena
menderita apoplexy atau Stroke (Raffles, 2008). Karena
pendirianya yang menentang perbudakan, keluarganya tidak diizinkan
mengebumikannya di halaman gereja setempat (St.Mary’s, Hendon). Larangan
ini dikeluarkan pendeta gereja itu, yang keluarganya memetik keuntungan
dari perdagangan budak. Ketika gereja itu diperluas pada 1920-an,
kuburannya dimasukkan ke dalam bagian bangunannya (id.wikipedia.org).
-
Masa Kepemimpinan Raffles di Nusantara
Sejak
tahun 1800, blokade Inggris terhadap Belanda semakin memuncak.
Kedudukan-kedudukan Belanda yang ada di luar Jawa (hanya Ambon yang agak
kuat) diserang Inggris. Demikianlah Ambon, Gorontalo, Banda, Ternate,
praktis dapat dikuasainya. Tidak dengan Jawa, rupanya pertahanan masih
kuat dan memerlukan perhitungan militer yang lebih serius. Tetapi
keputusan itu belum diambil oleh pucuk pimpinan Inggris di India.
Walaupun demikian, persiapan untuk menyerang Jawa telah dilakukan sejak
masa-masa sebelumnya (Dekker, 1993).
Pada
tahun 1808 mulai berlangsung suatu zaman baru dalam hubungan
Jawa-Eropa. Negeri Belanda telah berada di bawah kekuasaan Perancis
sejak tahun 1795. Sehubungan dengan sentralisasi kekuasaan yang semakin
besar, maka Napoleon Bonaperte mengangkat adiknya, Louis Napoleon
sebagai penguasa di negeri Belanda pada tahun 1806. Pada tahun 1808,
Louis mengirim Marsekal Herman Willem Daendels ke Batavia untuk menjadi
Gubernur jenderal (1808-1811) dan untuk memperkuat pertahanan Jawa
sebagai basis melawan Inggris di Samudera Hindia. Dalam perjalanannya
Daendels tidak membawa pasukan baru bersamanya bahkan memakai bendera
Amerika untuk menghindari serangan atau hadangan Inggris di India.
Dengan tidak adanya pasukan yang dibawa dia segera membentuk pasukan
yang terdiri dari sebagian besar terdiri atas orang-orang Indonesia,
berjumlah dari 4000 menjadi 18000 orang (Ricklefs, 2005).
Tekanan
blockade Inggris yang berat terhadap Belanda melumpuhkan export kopi
yang merupakan salah satu sumber penghasilan yang besar. Suasana ekonomi
di bawah Daendels yang bersifat revolusioner dan diktaktor ini rusak.
Di samping itu kebencian terhadapnya datang dari semua golongan termasuk
orang-orang Eropa sendiri. Maksudnya memberantas penyelewengan dan
korupsi yang menyelimuti administrasi Eropa banyak mengalami kegagalan
(Ricklefs, 2005). Salah satu contoh tindakan Daendels yang hanya
menghasilkan kebencian adalah sebagai berikut, seperti disebutkan di
atas, bahwa Ambon masih dipertahankan oleh Belanda dalam ukuran kecil.
Di sana ditempatkan seorang colonel Perancis yang bernama Filz. Akibat
serangan Inggris itu Filz menyerah. Dia dibebaskan oleh Inggris dan
kemudian pergi ke Batavia untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya.
Hasilnya malahan colonel yang malang itu dimarahinya dan kemudian
dijatuhi hukuman mati (dengan jalan ditembak), itu merupakan perbuatan
yang tidak bertanggung jawab yang dilakukan oleh seorang pemimpin
seperti Daendels. Adapun perlawanan diberbagai tempat terhadap Daendels
yang serba keras dari bangsa Indonesia antara lain ialah Banten,
Cirebon, dan Yogyakarta (Dekker, 1993).
Pada
1811, Thomas Stamford Raffles disertakan dalam rombongan ekspedisi ke
tanah Jawa sebagai Letnan Gubernur di bawah perintah Gubernur Jenderal
(di India) Sir Gilbert Elliot Murray-Kynyn-mond atau yang lebih dikenal
dengan nama Lord Minto, hingga 1817. Lord Minto menyukai Raffles karena
kecerdikanya, keterampilan, dan kemampuannya dalam berbahasa Melayu,
sehingga ia dikirim ke Malaka. Tidak lama setelah tiba di tanah Jawa
pasca Perancis menguasai Kerajaan Belanda, Raffles mengatur ekspedisi
melawan militer Belanda di Jawa. Penyerbuan itu dipimpin oleh Admiral
Robert Stopford, Jenderal Watherhall, Kolonel Gillespie2 (Raffles, 2008) dan disamping itu ikut juga Jenderal Auchmuty3
dimana Kapitulasi Tuntang adalah pertanda yang secara resmi mengakhiri
riwayat Belanda-Perancis di Indonesia. Berikut mengenai isi dari
Kapitulasi Tuntang yang di tanda tangani oleh Auchmuty dari pihak
Inggris dan Janssen dari pihak Belanda, pada tanggal 18 September 1811 :
-
Seluruh Jawa diserahkan kepada Inggris
-
Semua serdadu menjadi tawanan dan semua pegawai yang mau kerja sama dengan Inggris, dapat memegang jabatan terus
-
Semua hutang-piutang pemerintah belanda yang dulu, tidak akan ditanggung oleh Inggris.
Seminggu
sebelum Kapitulasi Tuntang, Raffles telah diangkat sebagai Letnan
Gubernur Jenderal namun pusat kendali tetap berada di Calcuta (Dekker,
1993).
Dalam
hal yang seperti ini masih ada juga perbedaan dalam penilaian terhadap
Belanda antara Lord Minto dengan Raffles. Munculnya dua aliran ini
sangat berbeda jauh yaitu aliran Lord Minto yang bersikap lunak dan
terbuka terhadap Belanda yang telah kalah dan mau mempergunakan bangunan
dan tenaga mereka kembali asalkan setia kepada Inggris, dan aliran
Raffles yang bersifat membenci terhadap apa saja yang berbau Belanda
yang dianggapnya sebagai kolot dan kejam.
Setelah
takhluknya Belanda dari tangan Inggris, kepulauan Indonesia sepenuhnya
berada di bawah control perusahaan Hindia Timur Inggris dan dibagi dalam
empat unit administratif yaitu pemerintahan Malaka, Bengkulu, Jawa,
Maluku. Dengan perubahan administratif ini Maluku sangat beruntung
karena monopoli tidak dihapus melainkan ditetapkan dengan lebih longgar,
sebab Perusahaan Hindia Timur Inggris tidak mempunyai kepentingan
financial untuk menjaga ketat sistem itu seperti Belanda (Vlekke, 2008).
Apabila dilihat sebagai kesatuan revolusi Daendels dan Raffles
sama-sama tokoh yang paling penting bagi sejarah Indonesia yaitu sebagai
pencetus revolusi penjajahan, suatu kebijakan baru yang menuntut
pelaksanaan kedaulatan dan kekuasaan administrasi Eropa di seluruh
pemerintahan Jawa yang tujuannya memanfaatkan, memperbaharui, atau
menghancurkan lembaga-lembaga asli semuanya (Rickefs, 2005).
Pemerintahan langsung rakyat oleh pejabat pemerintah yang digaji harus
menggantikan pemerintahan tidak langsung lewat perantara kepala-kepala
daerah herediter (Vlekke, 2008).
Thomas
Stamford Raffles pernah menjadi Gubernur Jenderal pada masa yang sangat
singkat di Jawa yaitu mulai tahun 1811 sampai dengan 1816. Selama
kepemimipinannya, Raffles mengubah sistem tanam paksa (culture stelsel)
yang diberlakukan colonial Belanda, yaitu sistem kepemilikan tanah yang
kemungkinan besar dipengaruhi oleh tulisan awal Dirk van Hogendorp,
dengan kebijakan landrente4.
Prinsip yang digunakannya berdasarkan pada teori liberalisme, seperti
yang dipraktikkan Inggris di India. Seperti dalam bidang perekonomian
dan keuangan Raffles menetapkan bahwa :
-
semua tanah adalah milik Negara, dan rakyat sebagai pemakai (penggarap) tanah wajib membayar sewa (berupa pajak bumi) kepada pemerintah.
-
Pemimpin pribumi seperti sultan dan bupati yang tidak taat pada peraturan landrente, akan dipecat.
-
Meneruskan usaha yang dilakukan Belanda misalnya penjualan tanah kepada swasta, serta penanaman kopi, melaksanakan penanaman bebas yang melibatkan rakyat dalam perdagangan.
-
Memonopoli garam agar tidak dipermainkan dalm perdagangan karena sangat penting bagi rakyat.
-
Menghapus segala penyerahan wajib dan kerja rodi.
-
Dia juga mengubah sistem berkendara di koloni Belanda menjadi sistem berkendara seperti di Inggris yaitu memakai jalur kiri yang berlaku dan dipakai sampai saat ini (Gus Anam’s, 2010 blog)
Selain menerapkan kebijakan landrente, dalam bidang pemerintahan Thomas Stamford Raffles juga menerapkan kebijakannya melalui :
-
Membagi tanah Jawa ke dalam 16 karesidenan
-
Mengurangi jabatan bupati yang berkuasa (Raffles, 2008)
-
Mengangkat Bupati menjadi pegawai negeri yang digaji
-
Mempraktekkan sistem yuri dalam pengadialn seperti di Inggris
-
Melarang adanya perbudakan, membangun pusat pemerintahan di Istana Bogor (Gus Anam’s, 2010 blog)
-
Kesultanan Banten dihapuskan, kedaulatan kesultanan Cirebon harus diserahkan kepada colonial Inggris (Raffles, 2008).
Disamping
kebijakan-kebijakan yang telah disebutkan, Raffles juga seoarang
sarjana yang tertarik dalam Sejarah dan keadaan alam Indonesia. Yaitu
dengan membangun gedung Harmoni di jalan Majapahit Jakarta untuk lembaga
pengetahuan yang berdiri sejak tahun 1778 yang bernama Bataviaasch
Genootschap(Gus Anam’s, 2010 blog).
Pada
13 agustus 1814 diberlakukan konvensi London yang memuat bahwa seluruh
wilayah yang pernah dikuasai Belanda harus dikembalikan kepada pihak
Inggris tetapi tidak berlaku atas Bangka, Belitung, dan Bengkulu.
Sebenarnya Raffles tidak menerima hal ini karena kekayaan Hindia-Belanda
sanagat menguntungkan pihak Inggris, naumun ia terpaksa
menandatanganinya yang merupakan bagian dari penyusunan kembali secara
menyeluruh urusan-urusan Eropa setelah perang-perang Napoleon. Raffles
akhirnya ditarik kembali ke Inggrisdan digantikan oleh John Fendall yang
melaksanakan keputusan konvensi London sekaligus serah terimanya. Tahun
1818 Raffles kembali ke timur untuk Jabatan barunya yaitu menjadi
Gubernur Bengkulu. Setelah setahun pemerintahannya ia menggagas proyek
bernama Singapore. Proyek mercusuar ini adalah pelampiasan dari rasa
kekecewaannya karena penyerahan tanah Jawa kepada Belanda. Diapun
akhirnya terkenal sekali sebagai pendiri Singapura.
Sebelum
kepulangannya ke London, di Bengkulu Raffles mendirikan benteng Inggris
paling besar kedua di Asia Pasifik, setelah benteng utamanya di India.
Dari pendirian benteng yang permanen, kokoh dan multifungsi itu dapat
dipastikan kalau Raffles memiliki cita-cita di kawasan ini. Karena
parahnya gejolak politik yang mendera Eropa pada tahun 1823 ia terpaksa
untuk meninggalkan Sumatra. Namun Raffles sempat mewujudkan obsesinya di
Singapura dan dalam proyek botani dan satwa Hindia Timur, terutama di
pulau Sumatra. Tonggak imperalis Inggris ini menggagas pendirian Raffles
Museum di Singapura. Misinya adalah mencatat dan mendokumentasikan
binatang dan tanaman khas yang terdapat di pulau Jawa dan Sumatra
(Raffles, 2008). Salah satunya adalah jenis tanaman bunga sekaligus nama
Raffles diabadikan sebagai nama bunga itu, yaitu Rafflesia Arnoldii (Gus Anam’s 2010 blog).
Karena peran besar Raffles, di Simgapura akhirnya diabadikan dengan
bentuk patung atau monumuen Raffles untuk mengenang tokoh besar itu.
Berakhirnya
pemerintahan Raffles karena kondisi eropa sudah tidak mendukung.
Kedudukan Napoleon telah goyah, dan Belanda telah bangkit untuk melawan
Perancis. Ujungnya terselesaikan pada 1824 yang disepakati di London.
Britania berjanji tidak akan lagi campur tangan di Sumatra atau
pulau-pulau lain di kepalauan Indonesia. Begitu juga orang Belanda
berjanji menghormati kemerdekaan Aceh, tapi sekaligus bertekad
melindungi pelayaran di sekitar ujung utara Sumatra dari
perompak-perompak Aceh. Perjanjian 1824 mengakhiri kekuasaan Britania
atas Bengkulu (Vlekke, 2008). Hingga akhirnya Nusantara kembali di bawah
kekuasaan Belanda yang dengan sistimatik menguras serta mengkulikan
penduduk Nusantara seperti yang dilakukanya sebelum Inggris datang.
No comments:
Post a Comment