Gubernur Jendral Paling Kejam
Gubernur Jendral J.P. COEN (1587-1629), -Adalah BAJINGAN PALING BESAR, — Kata Hati Nurani Orang Belanda
(1587-1629)Kalimat-kalimat diatas adalah
pernyataan orang Belanda sendiri. Begitulah cetusan isi hati nurani orang
Belanda yang mau tau, dan merespek sejarah hubungan Indonesia-Belanda.
Yang mau mengakui fakta-fakta sejarah sebagaimana apa adanya.
Khususnya yang bersangkutan dengan masa berkuasanya VOC di Nusantara
di bawah gubernur jendral
Semua itu (penulisnya, Eric van de Beek) bisa dibaca di s.k nasional
Belanda, “ De Volkskrant”, 12 Juli 2011. Ditambahkannya pula,
‘iemand als Coen hoor je niet te eren’. Terjemahan bebas: ‘Orang
seperti Coen tak patut dihormati’. Tambah lagi “De tijdomstandigheden
waren geen verzachtende omstadigheden voor de massamoordenaar J.P.
Coen’. Artinya, ‘Situasi ketika itu, bukanlah sesuatu yang (bisa)
meringankan bagi seorang pembantai-massal seperti J.P. Coen’. Eric Van
de Beek menegaskan, ‘sejarah tanah air kita, tak mengenal bajingan
yang lebih besar lagi’ (maksudnya tak ada bajingan yang lebih besar
selain JP Coen).
Van de Beek menulis kata-kata seperti tsb diatas terdorong oleh
kejengkelannya serta kritik keras pada Dewan Perwakilan Gemeente Hoorn,
Holland, yang menolak permintaan dan petisi sebagian masyarakat yang
menuntut agar patung mantan gubernur jendral VOC J.P. Coen di tengah
kota Hoorn itu, disingkirkan dari situ. Dianggap mencemarkan nama (baik)
bangsa Belanda. Patung tsb didirikan oleh Gemeente Hoorn sebagai
kenangan ulangtahun ke-300 J.P. Coen.
Mengapa Coen dinyatakan telah mencemarkan nama baik bangsa Belanda?
Tulis Eric van de Beek: Dia (Coen) mendirikan kota Batavia dengan
terlebih dahulu membakar habis kota Jayakarta. Ia (Coen) melakukan
pembantaian masal di kepulauan Banda. Hampitr keseluruhan 15.000
penduduk kepulauan Banda habis dibunuh. Coen sendiri mengakuinya,
tulisnya: ‘De inboorlingen sijn meest allen dood door den oorloch,
aarmoede ende gebreck vergaen. Zeer weynich isse in de omliggende
eilanden ontcomen’.
Sesungguhnya, sebelum dibangunnya patung Coen di tengah kota Hoorn,
hal itu sudah menjadi masalah. Pada tahun 1887, seorang historikus
Belanda bernama J. A Van der Chijs. Menulis a.l sbb: Saya ragukan
apakah (dibangunnya patung JP Coen) masih akan diteruskan. (Karena)
pada namanya melekat darah.’ Namun, 6 tahun kemudian (1893) patung
Coen ( yang sialan itu) berdiri juga di tengah kota Hoorn. Setelah
berdirinya patung Coen disitu, banyak protes diajukan masyarakat. Tidak
sedikit tulisan dan petisi yang dimuat di pers yang memprotes
keberadaan patung JP Coen di tengah kota Hoorn. Tetapi politisi dan
penguasa kota Hoorn berkeras-kepala mempertahankannya. Hal mana
menunjukkan bahwa pengaruh dan kekuatan politik konservatif masih
kokoh dikalangan penguasa Belanda, termasuk di kotapraja Hoorn.
Demonstrasi-demonstrasi diadakan dan bahkan patung Coen disirami cat
dsb. Menunjukkan ketidak-relaan dan kemarahan masyarakat Hoorn.
Mengapa ‘bajingan pembunuh masal’ JP Coen diberikan penghormatan dengan
mendirikan patungnya di tengah kota Hoorn. Eric van de Beek: ‘Seorang
pembunuh masal tidak patut dihormati, dengan mendirikan patungya
dipusat kota kita’.
Direktur Musium Westfries menyatakan di RTL-Nieuws: ; Dia (Coen)
adalah seorang yang kejam. Tetapi dia(Coen) bukan satu-satunya orang
yang begitu’. Dengan keluhan berat Eric van de Beek menutup tulisannya
sbb: ‘Sebuah kota Hoorn dengan patung yang diperuntukkan bagi seorang
penjagal-manusia seperti JP Coen: Ini suatu bahan (pemikiran)bagi para
akhli ilmu jiwa’
* * *
Ketika bicara di pertemuan di LIPI, Jakarta, 21 Juni y.l.,
menyinggung masalah hubungan Indonesia-Belanda, yang dikemukakan oleh
Asvi Warman Adam, aku nyatakan bahwa Jan Pieterszoon Coen (1587-1629),
gubernur jendral VOC yang menguasai negeri kita dulu, adalah p e r a m
p o k, yang dengan kapal dan tentaranya datang ke Indonesia untuk
merampok kekayaan rempah-rempah kita. Selanjutya JP Coen menjadi
penguasa Nusantara, dengan bersandar pada armada dan tentara VOC-nya.
Tidak kebetulan tentara KNIL di periode kolonial oleh masyarakat kita
disebut tentara KUMPENI, maksudnya compagnie, VOC.
Kukemukakan, bahwa catatan mengenai kekejaman JP Coen di Indonesia
dulu, jelas sekali dikemukakan dalam buku sejarawan Herman Burgers
(2010), “De Garoeda en De Ooievaar”.
Memang, hubungan Indonesia-Belanda benar-benar sebentar “mesra”
sebentar “kecut”. Suatu ‘hate and love relation’. Sebab utama dari
keadaan seperti itu semata-mata disebabkan oleh ‘ulahnya’ fihak
penguasa di Den Haag sendiri. Bila tokh dikatakan ada masa ‘love
relation’ antara Indonesia dan Belanda, maka itu kemungkinan besar,
terjadi pada periode rezim Orde Baru.
Di saat itu rezim Orba mengembalikan semua modal, perusahaan dan
‘milik’ Belanda lainnya, seperti perkebunan-perkebunan, yang sebelumnya
dinasionalisasi oleh pemerintahan Presiden Sukarno.
* * *
Tidak usahlah kita singgung lagi sementara ini, mengenai periode pra
kemerdekaan Indonesia, pada zaman kolonialisme Belanda. Kita batasi
saja sejak berakhirnya Perang Pasifik, dengan kemenangan Sekutu
(A,B,C,D – yaitu America, Britain, China dan Dutch) atas Kerajaan
Jepang. Belanda menganggap Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, —
berdirinya negara Republik Indonesia, pada tanggal 17 Agustus 1945,
sebagai suatu ‘pelanggaran’ terhadap ‘kedaulatan’ Kerajaan Belanda,
yang meliputi Hindia Belanda (Indonesia).
Republik Indonesia, oleh Belanda dianggap sesuatu yang ilegal, di
luar hukum. Karena melanggar Konstitusi Kerajaan Belanda. Presiden RI,
Sukarno, menurut Belanda, adalah kolaborator Jepang. Maka RI adalah
ciptaan dan boneka Jepang. Lalu Den Haag mengirim Van Mook (dari
Australia) yang diangkat jadi Letnan Gubernuir Jendral Hindia
Belanda, dengan tentara NICA-nya. Dimulailah ‘konflik’ pertama pasca
Perang Pasifik, di Indonesia. Yaitu antara Republik Indonesia versus
Kerajaan Belanda yang berkeras hendak mempertahankan statusquo.
Selama periode selanjutnya tak pernah ada hubungan ‘bersahabat’ yang
‘hangat’ antara Indonesia dan Belanda. Ada saja soalnya, Misalnya
keterlibatan Belanda dengan kudeta Kapten Westerling yang pakai nama
‘Ratu Adil’. Aksi-aksi subversi dan kemudian yang terpanjang masa
‘kecut’ dalam hubungan Indonesia –Belanda, disebabkan oleh politik
Belanda yang bersikeras hendak terus menguasai Irian Barat.
* * *
Setelah Reformasi (1998), — masih tetap ada ganjelan itu. Antara
lain yang terpenting ialah, mengenai masalah HARI MERDEKANYA INDONESIA.
Belanda bertahan pada sikapnya, bahwa Indonesia menjadi negeri
merdeka,
s e t e l a h
Ada serentetan masalah lainnya, antara lain bermukimnya ‘pemerintah
RMS (Republik Maluku Selatan), di Belanda, padahal Belanda hanya
mengakui dan punya hubungan diplomatik dengan negara Republik
Indonesia. Sehingga kasus ini sempat menjadi kendala kunjungan Presiden
Republik Indnesia, S.B Yudhoyono, ke negeri Belanda.
Menelusuri perkembangan hubungan Indonesia-Belanda, bisa disaksikan
bahwa di Belanda (terutama di kalangan yang berkuasa) masih berkuasa
pandangan kolot tentang peranan kolonialisme Belanda di Indonesia,
tentang peranan VOC dan tentang harijadi Republik Indonesia, 17
A|gustus 1945.
Bersamaan dengan itu tumbuh terus pandangan yang obyektif dan
realis di kalangan cendekiawan dan pakar sejarah Belanda, seperti
antara lain tercermin dalam tulisan Eric van de Beek dan buku sejarah
hubungan Indonesia-Belanda yang ditulis oleh sejarawan Herman Burgers.
Jan Pieterszoon Coen (lahir di Hoorn, Belanda, 8 Januari 1587 – meninggal di Batavia, 21 September 1629 pada umur 42 tahun) adalah Gubernur-Jenderal Hindia-Belanda yang keempat dan keenam. Pada masa jabatan pertama ia memerintah antara tahun 1619 – 1623, masa jabatan yang kedua berlangsung antara tahun 1627 – 1629.
JP Coen lahir di Hoorn pada tahun 1586 atau 1587. Tanggal kelahirannya kurang jelas, yang jelas ialah bahwa ia dibaptis pada tanggal 8 Januari 1587 sebagai putra Pieter Janszoon. Pada usia ke 13 ia dikirim ayahnya ke Roma. Disana ia magang pada seorang pedagang Flandria, Belgia bernama Joost de Visscher. Di Roma ia tinggal selama 6 tahun. Selain belajar dagang, ia juga belajar berbagai macam bahasa.
Pada tahun 1607 ia kembali ke Hoorn lalu pada tanggal 22 Desember
pada tahun yang sama ia berangkat ke Hindia. Pada kesempatan ini ia diberi nama
Coen. Ia kembali lagi pada tahun 1610. Pada perjalanan pertamanya ke
Hindia tidak banyak yang diketahui selain bahwa atasannya, Pieter
Willemszoon Verhoeff konon dibunuh orang Banda saat negosiasi
pembelian rempah-rempah. Hal ini bisa jadi memicu kekejian Coen dalam
menghadapi orang Banda pada masa depan.
Lalu di Banten, pada usia 31 tahun,
pada tanggal 18 April 1618, ia diangkat menjadi Gubernur-Jenderal.
Akan tetapi baru pada 21 Mei 1619 ia resmi memangku jabatan tersebut dari
Gubernur Jenderal sebelumnya, Laurens Reael. Setelah menjadi Gubernur-Jenderal,
ia tidak tahan terhadap orang Banten dan orang Inggris di sana, maka iapun
memindahkan kantor Kompeni ke Jakarta, di mana ia membangun pertahanan. Pada
tanggal 30 Mei
1619 dia menaklukkan
Jayakarta dan namanya diubah menjadi Batavia
(Batavieren).
Sementara itu orang-orang Inggris
tidak diam, mereka marah atas perlakuan orang Belanda terhadap orang Inggris di
Maluku. Sebagai dendam mereka merebut sebuah kapal Belanda De Swarte Leeuw
yang berisi penuh dengan muatan. Maka setelah itu pertempuran antara kedua kubu
pun dimulai. J.P. Coen sebagai pemimpin Belanda, bisa memenangkan pertempuran
melawan orang Inggris. Setelah menang melawan Inggris, ia merusak Jakarta dan
membangun benteng Belanda di kota itu. Di atas puing-puing kota Jakarta ia
membangun kota baru yang dinamakannya menjadi Batavia.
Kemudian pada tahun 1623, ia menyerahkan
kekuasaan kepada Pieter de Carpentier dan ia sendiri pulang
ke Belanda. Oleh pimpinan Kompeni (VOC)
ia disuruh kembali ke Hindia dan menjadi Gubernur-Jenderal kembali. Maka iapun
datang pada tahun 1627. Pada masa jabatannya kedua ia terutama berperang
melawan Kesultanan Banten
dan Mataram.
Mataram menyerang Batavia dua kali, yaitu pada tahun 1628 dan 1629. Kedua-duanya gagal,
tetapi Coen tewas secara mendadak pada tanggal 21 September
1629, empat hari setelah
istrinya, Eva Ment,
melahirkan seorang putri yang juga meninggal.
J.P. Coen dikenang sebagai
pendiri Hindia-Belanda di Belanda. Namanya banyak
dipakai sebagai nama-nama jalan dan bahkan di Amsterdam
ada sebuah gedung yang dinamai dengan namanya (Coengebouw). Sebaliknya,
di Indonesia ia terutama dikenal sebagai seorang pembesar Kompeni
yang kejam.
Jan Pieterszoon Coen meninggal di
Batavia pada tanggal 21 September 1629. Terdapat 2 versi
yang berbeda mengenai penyebab kematian Coen. Menurut versi Belanda,
Coen meninggal karena kolera yang kini lebih dikenal dengan muntaber (muntah berak),
sedangkan versi lainnya meyakini bahwa kematian Coen akibat serangan bala
tentara Sultan Agung dari Mataram. Dari kedua
versi ini kemudian diyakini bahwa Coen meninggal karena terjangkit wabah kolera
yang sengaja disebarkan oleh pasukan Mataram di Sungai
Ciliwung setelah peristiwa Serangan Besar di Batavia tahun 1628.
Untuk mengenang Gubernur
Jenderal Jan Pieterzoon Coen, pemerintah kolonial Belanda telah mendirikan
sebuah monumen dan patung pendiri Kota Batavia itu. Gubernur Jenderal VOC
(1619-1623 dan 1627-1629) ini, dibuat patungnya pada 1869, bertepatan dengan
250 tahun usia kota Batavia oleh Gubernur Jenderal Pieter Mijer
(1866-1872). Patung Coen yang
berdiri dengan angkuh sambil menunjuk jari telunjuknya dengan mottonya yang
terkenal: Dispereet Niet
("pantang berputus asa").
Setelah berdiri selama 74
tahun di depan Gedung Putih yang kini jadi Gedung Departemen Keuangan di
Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, patung dari tembaga ini pun digusur dan
dihancurkan pada 7 Maret
1943 selama pendudukan Jepang. Di masa
kolonial
Belanda, ulang tahun Jakarta selalu diperingati pada 30 Mei,
ketika di tanggal tersebut tahun 1619, Coen menghancurkan Jayakarta.
No comments:
Post a Comment