Sejarah Benteng Vredeburg
Museum Benteng Vredeburg yang terletak di Jalan Ahmad Yani No. 6,
Yogyakarta, gedung ini merupakan salah satu objek wisata yang sayang
bila kita lewatkan pada waktu kita mengunjungi Kota Daerah Istimewah
Yogyakarta. Jalan Ahmad yani ini berujung di Alun-alun Utara yang
menajdi halaman utara Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Dan bila kita
menyelusuri jalan Malioboro kita akan mengakhiri perjalanan kita di
Benteng tersebut sebelum menyeberang untuk mencapai Alun-alun.Bangunan
yang terletak di ujung Jalan Malioboro ini merupakan satu saksi dari
perjalanan sejarah perjuangan Yogyakarta menentang kolonialisme Belanda.
Benteng ini dibangun oleh pemerintah Belanda guna melindungi rumah
Residen Belanda (sekarang menjadi Gedung Agung) dan pemukiman
orang-orang Belanda dari kemungkinan serangan meriam milik Keraton
Yogyakarta. Sebelum dibangun menjadi benteng, di tahun 1761 tempat ini
merupakan parit perlindungan atau bunker bagi tentara Belanda atau lebih
dikenal dengan sebutan Rusten Burg.
Benteng Vredeburg didirikan pada tahun 1760 oleh Sri Sultan Hamengku
Buwono I (HB I) atas permintaan pemerintah Belanda. Maksud Belanda
adalah untuk menjaga keamanan Sultan Yogyakarta. Dan menurut informasi
yang penulis dapatkan dari pihak penerangan Museum Benteng Vredeburg
mengenai fungsi dan awal kegunaan Benteng Vredeburg ini di bangun
adalah, agar Belanda dapat mudah memantau gerak-gerik Sultan. Karena
pada waktu itu di dalam Benteng ada meriam yang mengarah ke Kraton
Yogyakarta.
Meriam tersebut untuk berjaga-jaga kalau Sultan dan ratusan prajuritnya sewaktu-waktu memberontak terhadap pemerintahan kolonial. jarak Keraton Yogyakarta dan Benteng Vredeburg berjarak sepelemparan meriam, yang tentunya akan sangat memudahkan pihak Belanda melakukan perlawanan pada waktu itu.
Bentuk awal bangunan Benteng Vrederburg sangat sederhana, berbentuk bujur sangkar dengan tempat penjagaan bastion di setiap sudut. masing-masing bastion bernama Jayawisesa (barat laut), Jayapurusa (timur laut), Jayaprakosaningprang (barat daya), Jayaprayitna (tenggara).
Di tahun 1765, Frans Haak mengubahnya menjadi benteng dengan mengambil model benteng di daratan Eropa. Ini bisa dilihat dari ciri parit dalam yang mengelilingi banteng, kemudian ada menara pengawas di setiap sudutnya dan tembok lebar yang memungkinkan para serdadu berpatroli diatasnya dan menembak dari tempat itu. Hingga kini, semua itu masih bisa disaksikan. Karena penguasa Yogyakarta tidak berkenan dengan pembangunan benteng ini maka dibutuhkan waktu 23 tahun untuk menyelesaikannya, hal ini terjadi karena kurangnya suplai tenaga kerja dari penduduk lokal.
Dalam perjalanan sejarahnya, benteng ini sering dijadikan tempat penahanan pemimpin-pemimpin Yogya yang membangkang terhadap pemerintah kolonial Belanda sebelum dibuang ke luar Pulau Jawa. Di tempat ini pula kolaborator Belanda yang masih kerabat Sultan, Danurejo IV merancang taktik untuk menangkap Pangeran Diponegoro, putra tertua Sultan Hamengku Buwono III yang menentang Belanda.
Pada jaman Gubernur Belanda W.H Ossenberg, bangunan ini diusulkan agar dibuat pemanen, dengan suatu alasan agar keamanan lebih terjamin. Maka dimulailah penyempurnaan benteng yang ternyata memakan wkatu yang tidak sedikit, yakni dari tahun 1769 sampai dengan 1787. Setelah selesai disempurnakan benteng ini diberinama Rustenburg yang berarti "benteng peristirahatan".
Lamanya proses pengerjaaan benteng pada waktu itu dikarenakan Sultan sedang disibukkan dengan pembangunan Keraton Yogyakarta pada tahun 1775, dan Sultan HB I sendirilah yang menjadikan arsiteknya. Pembangunan Keraton Yogyakarta tidak lepas dari peristiwa pemisahan Kerajaan Mataram menjadi dua, yaitu Kasunanan Surakarta yang diperintah Sunan Pakubuwono III dan Kesultanan Ngayogyakarta yang diperintah Pangeran mangkubumi, akibat Perjanjian Giyanti (1755). Setelah Perjanjian Giyanti, pesanggrahan Ayodya dibangun menjadi Keraton Kasultanan Ngayogyakarta.
Rustenburg yang sempat dijadikan markas pertahanan VOC ini mengalami kerusakan ketika Yogyakarta dilanda gempa pada tahun 1867. Setelah diadakan peraikan, Rustenburg diberi nama baru, yaitu "Vredeburg" yang berarti "benteng perdamaian".
Nama Vredeburg menunjukkan bahwa hubungan Belanda dan Keraton Yogyakarta memang tidak pernah akur, bahkan saling menyerang. Meriam yang diarahkan ke Kraton ini disiagakan lagi pada masa revolusi, tepatnya Desember 1948, ketika Yogyakarta jadi ibu Kota Negara Republik Indonesia. Saat itu, Sultan Hamengku Buwono IX (HB IX) menyediakan Keraton sebagai tempat gerilyawan Tentara Nasional Indonesia (TNI) berkumpul. Para perwisra banyak yang menyamar menjadi abdi dalem Kerton Yogyakarta pada waktu itu.
Strategi itu digunakan oleh Sultan dikarenakan Sultan tahu bahwa Keraton tempat yang aman bagi gerilyawan dan tidak akan diserang Belanda, dan Sultan HB IX tahu karena Ratu Wilhelmina di Belanda sudah berpesan kepada tentara Belanda untuk tidak mengganggu Sultan dan teman-temannya. Maka terbungkamlah meriam yang selama ini dipersiapkan oleh Belanda di Benteng Vredeburg.
Dalam catatatan informasi yang penulis dapatkan mengenai Benteng Vredeburg paska kemerdekaan, benteng vredeburg pernah menjadi markas Garnizun 072 serta Tentara Nasional Indonesia Batalion Infanteri 403. Pada tahun 1981, bangunan ini baru ditetapkan sebagai benda cagar budaya, dan mulai pada tahun 1992 secara resmi ditetapkan sebagai Museum Khusus Sejarah Sejarah Perjuangan Nasional Museum Benteng Vrederburg Yogyakarta. dengan nama
Di seberang Benteng Vrederburd terdapat Gedung Agung yang masa revolusi dulu merupakan Istana Presiden Republik Indonesia, ketika Yogyakarta menjadi Ibu Kota Indonesia pada tahun 1946 - 1949. Dengan mengunjungi Benteng Vredeburg kita bukan hanya melihat diorama dan foto dari masa Pangeran Diponegoro hingga masa revolusi, namun kita juga dapat mengamati betapa bangunan tua tersebut demikian terawatnya, taman yang indah yetpangkas rapi berikut tersedianya bangku yaman yang terbuat dari beton. Cat dindingnya terus diperbaruhi dan tidak dibiarkan menajdi lusuh.
Pada setiap banguan di dalam lokasi Benteng Vredeburg tertempel keterangan fungsi bangunan tersebut sebelumnya, seperti gudang mesiu, gudang senjata berat, perumahan perwira, gedung pengapit, dan pintu gerbang. Gedung apit yang dulunya merupakan kantor administrasi kompleks Benteng Vredeburg, dan banguanan ini merupakan bentuk aslinya dengan segala ornamen gaya Yunani masa Renaisans, yang menunjukkan usianya lebih tua dibandingkan bangunan lainnya.
Kita bisa berkeliling di atas dinding Benteng Vredeburg. Dengan memperhatikan dinding ruang pengintaian yang bopeng bekas peluru tembakan. dan dari atas Benteng Vredeburg kita bisa melepas pemandangan sekeliling kita untuk melihat pemandangan.
Bila kita lelah berkeliling Benteng Vredeburg maka kita bisa beristirahat di sekeliling Benteng Vredeburg yang ditanami pohon rimbun di atas Benteng Vredeburg sambil melihat lalu lintas Kota Yogyakarta dan keindahan gedung-gedung tua di perempatan jalan ahmad Yani, Yogyakarta.
Meriam tersebut untuk berjaga-jaga kalau Sultan dan ratusan prajuritnya sewaktu-waktu memberontak terhadap pemerintahan kolonial. jarak Keraton Yogyakarta dan Benteng Vredeburg berjarak sepelemparan meriam, yang tentunya akan sangat memudahkan pihak Belanda melakukan perlawanan pada waktu itu.
Bentuk awal bangunan Benteng Vrederburg sangat sederhana, berbentuk bujur sangkar dengan tempat penjagaan bastion di setiap sudut. masing-masing bastion bernama Jayawisesa (barat laut), Jayapurusa (timur laut), Jayaprakosaningprang (barat daya), Jayaprayitna (tenggara).
Di tahun 1765, Frans Haak mengubahnya menjadi benteng dengan mengambil model benteng di daratan Eropa. Ini bisa dilihat dari ciri parit dalam yang mengelilingi banteng, kemudian ada menara pengawas di setiap sudutnya dan tembok lebar yang memungkinkan para serdadu berpatroli diatasnya dan menembak dari tempat itu. Hingga kini, semua itu masih bisa disaksikan. Karena penguasa Yogyakarta tidak berkenan dengan pembangunan benteng ini maka dibutuhkan waktu 23 tahun untuk menyelesaikannya, hal ini terjadi karena kurangnya suplai tenaga kerja dari penduduk lokal.
Dalam perjalanan sejarahnya, benteng ini sering dijadikan tempat penahanan pemimpin-pemimpin Yogya yang membangkang terhadap pemerintah kolonial Belanda sebelum dibuang ke luar Pulau Jawa. Di tempat ini pula kolaborator Belanda yang masih kerabat Sultan, Danurejo IV merancang taktik untuk menangkap Pangeran Diponegoro, putra tertua Sultan Hamengku Buwono III yang menentang Belanda.
Pada jaman Gubernur Belanda W.H Ossenberg, bangunan ini diusulkan agar dibuat pemanen, dengan suatu alasan agar keamanan lebih terjamin. Maka dimulailah penyempurnaan benteng yang ternyata memakan wkatu yang tidak sedikit, yakni dari tahun 1769 sampai dengan 1787. Setelah selesai disempurnakan benteng ini diberinama Rustenburg yang berarti "benteng peristirahatan".
Lamanya proses pengerjaaan benteng pada waktu itu dikarenakan Sultan sedang disibukkan dengan pembangunan Keraton Yogyakarta pada tahun 1775, dan Sultan HB I sendirilah yang menjadikan arsiteknya. Pembangunan Keraton Yogyakarta tidak lepas dari peristiwa pemisahan Kerajaan Mataram menjadi dua, yaitu Kasunanan Surakarta yang diperintah Sunan Pakubuwono III dan Kesultanan Ngayogyakarta yang diperintah Pangeran mangkubumi, akibat Perjanjian Giyanti (1755). Setelah Perjanjian Giyanti, pesanggrahan Ayodya dibangun menjadi Keraton Kasultanan Ngayogyakarta.
Rustenburg yang sempat dijadikan markas pertahanan VOC ini mengalami kerusakan ketika Yogyakarta dilanda gempa pada tahun 1867. Setelah diadakan peraikan, Rustenburg diberi nama baru, yaitu "Vredeburg" yang berarti "benteng perdamaian".
Nama Vredeburg menunjukkan bahwa hubungan Belanda dan Keraton Yogyakarta memang tidak pernah akur, bahkan saling menyerang. Meriam yang diarahkan ke Kraton ini disiagakan lagi pada masa revolusi, tepatnya Desember 1948, ketika Yogyakarta jadi ibu Kota Negara Republik Indonesia. Saat itu, Sultan Hamengku Buwono IX (HB IX) menyediakan Keraton sebagai tempat gerilyawan Tentara Nasional Indonesia (TNI) berkumpul. Para perwisra banyak yang menyamar menjadi abdi dalem Kerton Yogyakarta pada waktu itu.
Strategi itu digunakan oleh Sultan dikarenakan Sultan tahu bahwa Keraton tempat yang aman bagi gerilyawan dan tidak akan diserang Belanda, dan Sultan HB IX tahu karena Ratu Wilhelmina di Belanda sudah berpesan kepada tentara Belanda untuk tidak mengganggu Sultan dan teman-temannya. Maka terbungkamlah meriam yang selama ini dipersiapkan oleh Belanda di Benteng Vredeburg.
Dalam catatatan informasi yang penulis dapatkan mengenai Benteng Vredeburg paska kemerdekaan, benteng vredeburg pernah menjadi markas Garnizun 072 serta Tentara Nasional Indonesia Batalion Infanteri 403. Pada tahun 1981, bangunan ini baru ditetapkan sebagai benda cagar budaya, dan mulai pada tahun 1992 secara resmi ditetapkan sebagai Museum Khusus Sejarah Sejarah Perjuangan Nasional Museum Benteng Vrederburg Yogyakarta. dengan nama
Di seberang Benteng Vrederburd terdapat Gedung Agung yang masa revolusi dulu merupakan Istana Presiden Republik Indonesia, ketika Yogyakarta menjadi Ibu Kota Indonesia pada tahun 1946 - 1949. Dengan mengunjungi Benteng Vredeburg kita bukan hanya melihat diorama dan foto dari masa Pangeran Diponegoro hingga masa revolusi, namun kita juga dapat mengamati betapa bangunan tua tersebut demikian terawatnya, taman yang indah yetpangkas rapi berikut tersedianya bangku yaman yang terbuat dari beton. Cat dindingnya terus diperbaruhi dan tidak dibiarkan menajdi lusuh.
Pada setiap banguan di dalam lokasi Benteng Vredeburg tertempel keterangan fungsi bangunan tersebut sebelumnya, seperti gudang mesiu, gudang senjata berat, perumahan perwira, gedung pengapit, dan pintu gerbang. Gedung apit yang dulunya merupakan kantor administrasi kompleks Benteng Vredeburg, dan banguanan ini merupakan bentuk aslinya dengan segala ornamen gaya Yunani masa Renaisans, yang menunjukkan usianya lebih tua dibandingkan bangunan lainnya.
Kita bisa berkeliling di atas dinding Benteng Vredeburg. Dengan memperhatikan dinding ruang pengintaian yang bopeng bekas peluru tembakan. dan dari atas Benteng Vredeburg kita bisa melepas pemandangan sekeliling kita untuk melihat pemandangan.
Bila kita lelah berkeliling Benteng Vredeburg maka kita bisa beristirahat di sekeliling Benteng Vredeburg yang ditanami pohon rimbun di atas Benteng Vredeburg sambil melihat lalu lintas Kota Yogyakarta dan keindahan gedung-gedung tua di perempatan jalan ahmad Yani, Yogyakarta.
Masa Jepang
Tanggal 7 Maret 1942, pemerintah Jepang memberlakukan UU nomor 1
tahun 1942 bahwa kedudukan pimpinan daerah tetap diakui tetapi berada di
bawah pengawasan Kooti Zium Kyoku Tjokan (Gubernur Jepang) yang
berkantor di Gedung Tjokan Kantai (Gedung Agung).
Pusat kekuatan tentara Jepang disamping ditempatkan di Kotabaru juga di
pusatkan di Benteng Vredeburg. Tentara Jepang yang bermarkas di Benteng
Vredeburg adalah Kempeitei yaitu tentara pilihan yang terkenal keras
dan kejam.
Disamping itu benteng Vredeburg juga digunakan sebagai tempat
penahanan bagi tawanan orang Belanda maupun Indo Belanda yang ditangkap.
Juga kaum politisi Indonesia yang berhasil ditangkap karena mengadakan
gerakan menentang Jepang.
Guna mencukupi kebutuhan senjata, tentara Jepang mendatangkan
persenjataan dari Semarang. Sebelum dibagikan ke pos-pos yang memerlukan
terlebih dulu di simpan di Benteng Vredeburg. Gudang mesiu terletak di
setiap sudut benteng kecuali di sudut timur laut. Hal itu dengan
pertimbangan bahwa di kawasan tersebut keamanan lebih terjamin.
Penempatan gudang mesiu di setiap sudut benteng dimaksudkan untuk
mempermudah disaat terjadi perang secara mendadak.
Penguasaan Jepang atas Benteng Vredeburg berlangsung dari tahun 1942
sampai dengan tahun 1945, ketika proklamasi telah berkumandang dan
nasionalisasi bangunan-bangunan yang dikuasai Jepang mulai dilaksanakan.
Selama itu meskipun secara de facto dikuasai oleh Jepang tetapi secara
yuridis formal status tanah tetap milik kasultanan.
Dari uraian itu dapat dikatakan bahwa pada masa pendudukan Jepang
(1942-1945) bangunan benteng Vredeburg difungsikan sebagai markas
tentara Kempeitei, gudang mesiu dan rumah tahanan bagi orang Belanda dan
Indo Belanda serta kaum politisi RI yang menentang Jepang.
Masa Kemerdekaan
1945-1970-an
Berita tentang proklamasi kemerdekaan Indonesia disambut dengan
perasaan lega oleh seluruh rakyat Yogyakarta. Ditambah dengan keluarnya
Pernyataan Sri Sultan Hamengku Buwono IX (Pernyataan 5 September 1945) yang kemudian diikuti oleh Sri Paku Alam VIII yang berisi dukungan atas berdirinya negara baru, Negara Republik Indonesia, maka semangat rakyat semakin berapi-api.
Sebagai akibatnya terjadi berbagai aksi spontan seperti pengibaran
bendera Merah Putih, perampasan bangunan dan juga pelucutan senjata
Jepang. Masih kuatnya pasukan Jepang yang berada di Yogyakarta,
menyebabkan terjadinya kontak senjata seperti yang terjadi di Kotabaru
Yogyakarta. Dalam aksi perampasan gedung ataupun fasilitas lain milik
Jepang, Benteng Vredeburg juga menjadi salah satu sasaran aksi.
Setelah benteng dikuasai oleh pihak RI untuk selanjutnya
penanganannya diserahkan kepada instansi militer yang kemudian
dipergunakan sebagai asrama dan markas pasukan yang tergabung dalam
pasukan dengan kode Staf “Q” dibawah Komandan Letnan Muda I Radio, yang
bertugas mengurusi perbekalan militer. Oleh karena itu tidak mustahil
bila pada periode ini Benteng Vredeburg disamping difungsikan sebagai
markas juga sebagai gudang perbekalan termasuk senjata, mesiu, dan
sebagainya. Pada tahun 1946 di dalam komplek Benteng Vredeburg didirikan
rumah sakit tentara untuk melayani korban pertempuran. Namun dalam
perkembangannya rumah sakit tersebut juga melayani tentara beserta
keluarganya.
Ketika tahun 1946 kondisi politik Indonesia mengalami kerawanan di
saat perbedaan persepsi akan arti revolusi yang sedang terjadi.
Meletuslah peristiwa yang dikenal dengan “Peristiwa 3 Juli 1946”, yaitu
percobaan kudeta yang dipimpin oleh Jenderal Mayor Soedarsono. Karena
usaha tersebut gagal maka para tokoh yang terlibat dalam peristiwa
tersebut seperti Mohammad Yamin, Tan Malaka dan Soedarsono ditangkap.
Sebagai tahanan politik mereka pernah ditempatkan di Benteng Vredeburg.
Pada masa Agresi Militer Belanda II
(19 Desember 1948) Benteng Vredeburg yang waktu itu dijadikan markas
militer RI menjadi sasaran pengeboman pesawat-pesawat Belanda. Kantor Tentara Keamanan Rakyat yang berada di dalamnya hancur. Setelah menguasai lapangan terbang Maguwo,
tentara Belanda yang tergabung dalam Brigade T pimpinan Kolonel Van
Langen berhasil menguasai kota Yogyakarta, termasuk Benteng Vredeburg.
Selanjutnya Benteng Vredeburg dipergunakan sebagai markas tentara
Belanda yang tergabung dalam IVG (Informatie voor Geheimen),
yaitu dinas rahasia tentara Belanda. Di samping itu Benteng Vredeburg
juga difungsikan sebagai asrama prajurit Belanda dan juga dipakai untuk
menyimpan senjata berat seperti tank, panser dan kendaraan militer
lainnya.
Ketika terjadi Serangan Umum 1 Maret 1949,
sebagai usaha untuk menunjukkan kepada dunia internasional bahwa RI
bersama dengan TNI masih ada, Benteng Vredeburg menjadi salah satu
sasaran di antara bangunan-bangunan lain yang dikuasai Belanda seperti
kantor pos, stasiun kereta api, Hotel Toegoe, Gedung Agung, dan tangsi Kotabaru.
Kurang lebih 6 enam jam kota Yogyakarta dapat dikuasai oleh TNI beserta
rakyat pejuang. Baru setelah bala bantuan tentara Belanda yang
didatangkan dari Magelang tiba ke Yogyakarta, TNI dan rakyat mundur ke luar kota dan melakukan perjuangan gerilya.
Setelah Belanda meninggalkan kota Yogyakarta, Benteng Vredeburg dikuasai oleh APRI (Angkatan Perang Republik Indonesia). Kemudian pengelolaan benteng diserahkan kepada Militer Akademi Yogyakarta. Pada waktu itu Ki Hadjar Dewantara
pernah mengemukakan gagasannya agar Benteng Vredeburg dimanfaatkan
sebagai ajang kebudayaan. Akan tetapi gagasan itu terhenti karena
terjadi peristiwa “Tragedi Nasional” Pemberontakan G 30 S/PKI
tahun 1965. Waktu itu untuk sementara Benteng Vredeburg digunakan
sebagai tempat tahanan politik terkait dengan peristiwa G 30 S/ PKI yang
langsung berada di bawah pengawasan Hankam.
Rencana pelestarian bangunan Benteng Vredeburg mulai lebih terlihat
nyata setelah tahun 1976 diadakan studi kelayakan bangunan benteng yang
dilakukan oleh Lembaga Studi Pedesaan dan Kawasan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Setelah diadakan penelitian maka usaha ke arah pemugaran bangunan bekas Benteng Vredeburg pun segera dimulai.
Tahun 1977 – 1992
Dalam periode ini status penguasaan dan pengelolaan benteng pernah
diserahkan dari pihak HANKAM kepada Pemerintah Daerah Yogyakarta.
Tanggal 9 Agustus 1980 diadakan penandatanganan piagam perjanjian
tentang pemanfaatan bangunan bekas Benteng Vredeburg oleh Sri Sultan HB
IX (pihak I) dan Mendibud Dr. Daoed Joesoef (pihak II).
Pada periode ini Benteng Vredeburg pernah dipergunakan sebagai ajang
Jambore Seni (26 – 28 Agustus 1978), Pendidikan dan latihan Dodiklat
POLRI. Juga pernah dipergunakan sebagai markas Garnisun 072 serta markas TNI AD Batalyon 403. Meski demikian secara yuridis formal status tanah tetap milik kasultanan.
Dengan pertimbangan bahwa bangunan bekas Benteng Vredeburg tersebut
merupakan bangunan bersejarah yang sangat besar artinya maka pada tahun
1981 bangunan bekas Benteng Vredeburg ditetapkan sebagai benda cagar
budaya berdasarkan Ketetapan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor
0224/U/1981 tanggal 15 Juli 1981.
Tentang pemanfaatan bangunan Benteng Vredeburg, dipertegas lagi oleh Prof. Dr. Nugroho Notosusanto
(Mendikbud RI) tanggal 5 November 1984 yang mengatakan bahwa bangunan
bekas Benteng Vredeburg akan difungsikan sebagai museum perjuangan
nasional yang pengelolaannya diserahkan kepada Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia.
Piagam perjanjian serta surat Sri Sultan Hamengku Buwono IX Nomor
359/HB/85 tanggal 16 April 1985 menyebutkan bahwa perubahan-perubahan
tata ruang bagi gedung-gedung di dalam kompleks benteng Vredeburg
diijinkan sesuai dengan kebutuhan sebagai sebuah museum. Untuk
selanjutnya dilakukan pemugaran bangunan bekas benteng dan kemudian
dijadikan museum. Tahun 1987 museum telah dapat dikunjungi oleh umum.
Tahun 1992 sampai sekarang
Melalui Surat Keputusan Mendikbud RI Prof. Dr. Fuad Hasan nomor
0475/O/1992 tanggal 23 November 1992 secara resmi Benteng Vredeburg
menjadi Museum Khusus Perjuangan Nasional dengan nama Museum Benteng
Yogyakarta.
Untuk meningkatkan fungsionalisasi museum ini maka mulai tanggal 5
September 1997 mendapat limpahan untuk mengelola Museum Perjuangan
Yogyakarta di Brontokusuman Yogyakarta, dari Museum Negeri Propinsi DIY
Sonobudoyo. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kebudayaan dan
Pariwisata Nomor KM 48/OT.001/MKP/2003 tanggal 5 Desember 2003 Museum
Benteng Vredeburg Yogyakarta merupakan Unit Pelaksana Teknis yang
berkedudukan di lingkungan Kementerian dan Kebudayaan Deputi Bidang
Sejarah dan Purbakala.
Selanjutnya Sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Kebudayaan dan
Pariwisata Nomor : KM 48/OT.001/MKP/2003 tanggal 5 Desember 2003 Museum
Benteng Vredeburg Yogyakarta mempunyai Kedudukan, Tugas Pokok dan Fungsi
yaitu sebagai museum khusus merupakan Unit Pelaksana Teknis yang
berkedudukan di lingkungan Kementerian dan Kebudayaan Deputi Bidang
Sejarah dan Purbakala yang bertugas melaksanakan pengumpulan, perawatan,
pengawetan, penelitian, penyajian, penerbitan hasil penelitian dan
memberikan bimbingan edukatif kultural mengenai benda dan sejarah
perjuangan bangsa Indonesia di wilayah Yogyakarta.
No comments:
Post a Comment